Comments
- No comments found
RUMUSAN & REKOMENDASI
SEMINAR NASIONAL XXVII AIPI
“PEMILU SERENTAK 2019”
FISIPOL-UGM Yogyakarta, 27-28 April 2017
_______________________________
Seminar Nasional XXVII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dengan tema: “Pemilu Serentak 2019” dilaksanakan di FISIPOL-UGM Yogyakarta, 27-28 April 2017. Seminar dihadiri sekitar 150 orang peserta yang terdiri atas para ilmuan politik anggota AIPI, Pengurus Pusat dan Cabang AIPI, mahasiswa, dan beberapa politisi di Indonesia. Didahului oleh pidato pengantar Ketua Umum PP AIPI Dr. Alfitra Salamm dan Wakil Dekan FISIPOL-UGM Dr. Wawan Masudi, seminar selanjutnya dibuka oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Bawono X. Sebelum pembahasan pemakalah utama dan pilihan, seminar diawali oleh dua orang keynote speakers, yaitu Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Dr. Jimly Assidiqie.
Wakil Dekan FISIPOL UGM menekankan bahwa capaian demokrasi di Indonesia telah diakui oleh sejumlah negara-negara sahabat. Namun demikian tak dapat dipungkiri masih adanya sejumlah persoalan berkaitan dengan kondisi demokrasi kita saat ini, seperti praktik politik uang, budaya parokial, dan sejumlah persoalan lainnya. Hal yang sama juga disinggung oleh Sri Sultan dalam sambutannya, bahwa praktik demokrasi masih diwarnai oleh kuatnya nilai-nilai identitas. Gubernur DIY juga mengingatkan budaya politik yang pernah disampaikan pada Seminar Nasional II AIPI, 20 tahun yang lalu, bahwa budaya politik dan kekuasaan memiliki hubungan yang erat dengan situasi sekarang, karena seorang pemimpin pada dasarnya adalah melayani, abdi masyarakat. Kepemimpinan adalah tanggungjawab, keteladaan, dan penderitaan. Kepemimpinan bukanlah kontes popularitas, karena pada dasarnya pemimpin bukanlah penguasa, tetapi seorang yang berani menderita dalam melayani masyarakat, abdi masyarakat.
Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo menegaskan bahwa perubahan sistem pemilu perlu dirancang secara jangka panjang, tidak setiap lima tahun dilakukan perubahan. Pilihan terhadap sistem pemilu proporsional, apakah terbuka atau tertutup, merupakan isu krusial di antara 13 isu krusial Pemilu Serentak 2019. Selain sistem pemilu, isu penambahan kursi bagi sejumlah daerah, karena harga tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain, juga isu parliamentary threshold, dan calon tunggal presiden. Isu krusial lain juga berkaitan dengan apakah yang dimaksud keserentakan pemilu itu harus sama ataukah bisa beda waktu 1 atau 3 hari. Dalam nafas yang hampir senada, dalam menyongsong Pemilu Serentak 2019, Prof. Jimly Assidiqie mengingatkan pentingnya pencegahan persoalan etika dalam konteks penyelenggaraan pemilu. Dari pengalaman selama ini, sumber persoalan etika bukan hanya berasal dari penyelenggara pemilu, tetapi lebih banyak dari peserta pemilu, yaitu partai politik dan kandidat.
Selama satu setengah hari, Seminar Nasional XXVII AIPI telah membahas isu-isu krusial yang berhubungan dengan tema Pemilu Serentak 2019. Isu-isu tersebut ialah: Desain Pemilu Serentak 2019, Kesiapan Penyelenggara Pemilu Serentak 2019; Potensi Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Serentak 2019; dan Sistem Pengawasan Pemilu Serentak 2019. Selain keempat isu tersebut, Seminar Nasional XXVII AIPI juga mendiskusikan 15 makalah pilihan yang membahas berbagai topik yang beragam tentang Pemilu Serentak 2019, antara lain: Ambang Batas dan Legitimasi Peserta Pemilu Serentak; Dampak Ambang Batas Presidensial; Ci(ne)tizen Participation: Media dan Political Literacy; Gagasan Desain Aturan Pemilu Serentak; Keterwakilan Perempuan dalam Pemilu Serentak; Efektivitas dan Coattail Effect Pemilu Serentak; Penyelesaian Pidana Pemilu, Demokratisasi Pemilu Serentak, dan Tantangan Pemilu Serentak 2019.
Secara garis besar hasil pembahasan dan diskusi yang instens dari para peserta Seminar Nasional XXVII AIPI di FISIPOL-UGM Yogyakarta pada 27 April 2017 dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut:
Pemilu Lima Kotak (Pemilu untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) adalah bentuk Pemilu Serentak yang secara jangka pendek harus kita terima mengingat waktu penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 yang sudah tidak memungkinkan lagi.
Pilihan terhadap pemilu lima kotak di atas bukan tanpa risiko. Apabila pemilu lima (5) kotak tetap dijadikan pilihan, risikonyakita tidak mendapatkan insentif dari gagasan keserentakan pemilu, kecuali sekedar insentif kesamaan waktu dan efisiensi pendanaan. Keserentakan pemilu harusnya memiliki efek bagi bekerjanya (governability) pemerintahan pusat dan daerah. Selain itu, dengan pemilu 5 kotak dikhawatirkan kualitas pemilu justru akan mengalami kemunduran, manakala sistem proporsional yang digunakan adalah sistem proporsional terbuka. Pemilu lima (5) kotak juga tidak akan berdampak secara signifikan bagi penguatan sistem presidensial. Oleh karena itu, perubahan UU Pemilu meniscayakan perlunya kesungguh-sungguhan para perancang Undang-Udang untuk mewujudkan tujuan minimal dalam memperkuat sistem presidensial melalui adanya kerangka perubahan peraturan perundang-undangan yang mendorong terwujudnya sistem kepartaian moderat dengan adanya partai pemenang mayoritas di parlemen sebagai penopang pemerintahan. Kekuatan mayoritas ini akan memudahkan bekerjanya sistem presidensial.
Dalam jangka panjang, kebutuhan untuk mencari kerangka desain pemilu serentak sebagai alternatif Pemilu Lima Kotak perlu menjadi agenda kita sebagai sebuah bangsa dalam rangka memperbaiki kualitas pemilu dan mendorong sistem politik yang stabil. Dalam jangka panjang direkomendasikan agar ada keterpisahan antara pemilu serentak nasional dengan pemilu serentak lokal dengan jeda waktu 2,5 tahun.
Perlu konsistensi dan koherensi antara sistem presidensial dengan sistem kepartaian dan sistem pemilu. Tujuan pemilu salah satunya adalah mengefektifkan sistem presidensial sebagai hasil kombinasi yang “rumit” dengan sistem multipartai.Oleh karena itu, kebutuhan ideal ke depan adalah bagaimana bangunan desain sistem pemilu serentak yang dapat menopang efektivitas sistem presidensial. Seminar Nasional XXVII AIPI merekomendasikan agar sistem pemilu serentak dirancang secara terpisah antara sistem pemilu serentak nasional dengan pemilu serentak lokal. Pemisahan tersebut akan melahirkan sistem presidensiil yang efektif yang sekaligus diperkuat oleh sistem kepartaian yang stabil. Konsekuensi logisnya, selain perubahan desain Pemilu Serentak 2019 diperlukan pula perubahan formula besaran daerah pemilih dan teknik penghitungan kursi yang mendukung upaya penyederhanaan partai secara moderat.
Penggunaan Sistem Pemilu Proporsional tetap merupakan pilihan yang rasional dalam menyiapkan RUU Pemilu Serentak 2019. Namun demikian, sistem proporsional terbuka atau tertutup--serta terbuka terbatas, bukanlah isu penting. Seminar Nasional XXVII AIPI di Yogyakarta merekomendasikan bahwa pilihan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan/atau Terbuka perlu dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan yang sangat ketat.
Terhadap sistem pemilu proporsional ini ada dua rekomdensi yang patut diperhatikan oleh para perancang RUU Pemilu Serentak 2019 sebagai berikut:
Sementara untuk memilih Dewan Perwakilan Daerah, para ahli politik yang tergabung dalam Asosiasi Ilmu Politik Indonesia merekomendasikan tetap menggunakan sistem distrik berwakil banyak, di mana proses pengajuan calon ditentukan atas dasar dukungan minimal suara sesuai dengan yang sudah berjalan pada Pemilu 2014 yang lalu. Pemilihan calon anggota DPD melalui pansel bertentangan dengan UUD 1945 di mana DPD adalah wakil perseorangan dan bukan partai politik.
Terhadap isu presidential threshold, dalam Seminar Nasional XXVII AIPI ditekankan bahwa dalam pemilu serentak – ambang batas presiden sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden tidak lagi relevan dengan prinsip keserentakan penyelenggaraan pemilu. artinya setiap partai yang lolos sebagai peserta pemilu dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Oleh karena itu, makna ambang batas presiden tidak perlu diatur dalam RUU Pemilu Serentak 2019 karena justru bertentangan dengan prinsip kerentakan pemilu presiden dan legislatif.
Sebaliknya, parliamentary threshold yang signifikan (antara 7-8 persen untuk DPR) dan 3,5 persen untuk DPRD akan mendorong lahirnya sistem kepartaian sederhana dan mengurangi derajat fragmentasi politik di parlemen, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Desain kertas suara memiliki hubungan yang erat dalam pemilu serentak. Kertas suara (ballot vote) semaksimal mungkin didesain dan disesuaikan dengan tujuan coattail effect yang merupakan salah satu kelebihan pemilu serentak. Idealnya, kertas suara hanya satu lembar agar efek ekor jas dapat terjadi pada pemilu serentak. Sebaliknya, apabila kertas suara yang digunakan terpisah-pisah antara kertas suara calon presiden-wakil presiden dengan legislatif (DPR dan DPD) potensi splite vote akan tinggi.
ü Tim seleksi yang independen dan terpercaya.
ü Masa bhakti jabatan KPUD perlu ditinjau ulang disesuaikan dengan tahapan pemilu agar tidak mengganggu proses dan tahapan pemilu.
Demikian rumusan hasil Seminar Nasional XXVII Asosiasi Ilmu Politik Indonesia.
Yogyakarta, 28 April 2017
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI)
Leave your comments